Kamis, 28 Januari 2010

Mengalihkan Resiko Ke Asuransi

Pertanyaan:

Terima kasih sekali untuk konsultasi gratisnya, ini merupakan layanan yang saya rasa sangat membantu masyarakat. Saya harap konfidensialitas nama saya dapat dijaga.

Saya juga pasangan yang baru menikah (1 tahun). Saya dan istri saya kurang memiliki ketrampilan untuk mengelola uang. Kami berdua bekerja di bidang sosial & sering kali menghabiskan sejumlah uang untuk membantu orang.

Namun, kami ingin memiliki rumah. Problemnya adalah saya mengidap penyakit yang cukup kronis dan mungkin sulit bagi saya untuk memprediksikan apa yang akan terjadi setelah 5 tahun dari sekarang dan ini sangat mempengaruhi sekali ke keputusan saya untuk mengambil KPR untuk membeli rumah & untuk memiliki anak. Saya ingin sebelum terjadi apa apa dengan saya, saya harus setidak tidaknya membeli rumah untuk istri saya.

Berikut data data keuangan saya:

  • Gaji saya: Rp. 7,500,000
  • Gaji Istri saya: Rp. 3,500,000
  • Cicilan Mobil (berakhir november 2009): Rp. 5,164,000
  • Makan & kebutuhan sehari hari: Rp. 2,000,000
  • Bensin: Rp. 600,000
  • Mobile phone: Rp. 1,000,000
  • Biaya kesehatan per 3 bulan: Rp. 8,000,000

Saya juga seorang consultant, yang berarti saya punya pemasukan tidak tetap yang berkisar antara $2,000 – 5,000/project. Tapi ini sangat tidak tetap, bisa 1 project dalam 3 – 4 bulan. Problemnya adalah saya memiliki penyakit ini dan sangat sulit untuk memutuskan untuk mengambil KPR, karena saya tidak mau bila sesuatu terjadi pada saya, istri saya yang harus menanggungnya. Saya pikir saya ingin mengambil rumah yang berkisar 400 – 500 Juta, karena saya ingin meninggalkan istri saya dengan sesuatu dimana dia bisa nyaman & anak saya bisa nyaman juga, walaupun saya tahu kenyamanan itu masih bisa terwujud dengan rumah dengan lower budget. Namun kalau saya punya options untuk mengambil rumah yang sesuai dengan keinginan istri saya, saya akan senang untuk mengambil option yang itu.

Jawaban:

Ini adalah contoh kasus yang unik. Seorang suami, yang mengidap penyakit kronis, ingin merencanakan keuangan untuk keluarganya ketika sang suami telah diada. Biasanya kita membuat rencana untuk masa depan dimana seluruh anggota keluarga masih ada, namun dalam kasus unik ini kita membuat rencana keuangan untuk anggota keluarga yang ditinggalkan.

Mari kita analisa kondisi keuangan keluarga. Pendapatan keluarga berasal dari 2 orang, yaitu suami dan istri. Namun pendapatan terbesar didominasi oleh suami. Tanpa keberadaan suami, maka keluarga akan kehilangan pendapatan tetap sebesar Rp. 7.500.000,- dan pendapatan sampingan dari konsultasi proyek. Secara total pendapatan keluarga tinggal Rp. 3.500.000,-.

Sementara dari sisi pengeluaran, tanpa keberadaan suami, sang istri tetap harus membayar penuh cicilan mobil sebesar Rp. 5.164.000,-. Pengeluaran lainnya, bisa kita anggap hilang separuhnya karena ini adalah pengeluaran variabel yang berdasarkan pada jumlah anggota keluarga. Kita asumsikan keluarga sudah tidak perlu membayar biaya kesehatan, jadi arus kas untuk keluarga tanpa keberadaan suami kurang lebih seperti dibawah ini:

  • Gaji Istri saya: Rp. 3,500,000
  • Cicilan Mobil (berakhir november 2009): Rp. 5,164,000
  • Makan & kebutuhan sehari hari: Rp. 1,000,000
  • Bensin: Rp. 300,000
  • Mobile phone: Rp. 500,000

Apa yang terjadi? Ternyata gaji istri tidak sanggup membayar cicilan mobil. Cicilan ini menyebabkan keuangan keluarga semakin hari menjadi semakin defisit. Dan pada saat keluarga sudah tidak sanggup lagi membayar cicilan, pihak kreditur akan menyita mobil tersebut.

Demikian juga yang akan terjadi dengan cicilan rumah. Apabila tidak dirancang dengan cermat, maka istri akan kewalahan untuk membayar cicilan. Dengan tingkat pendapatan sekarang, istri hanya dapat menyediakan uang sebesar Rp. 1.200.000,- per bulannya untuk membayar cicilan seluruh hutangnya. Jadi apabila ingin mengambil KPR, suami harus mencari solusi dimana per bulannya hanya perlu membayar Rp. 1.200.000,-. Mungkin dengan cara membayar uang muka lebih banyak, atau dengan cara mencari rumah yang harganya lebih murah.

Yang perlu diperhatikan dari kasus ini adalah pernyataan suami “saya tidak mau bila sesuatu terjadi pada saya, istri saya yang harus menanggungnya.” Suami menyadari bahwa segala hutang yang dibuatnya harus ditanggung oleh keluarganya. Terus terang saja, jarang loh orang kepikiran hal seperti ini. Mungkin Anda tidak menyadari bahwa seluruh hutang Anda akan diwariskan ke keluarga yang Anda tinggalkan.

Coba bayangkan berapa banyak hutang Anda sekarang. Cicilan rumah, cicilan mobil. Bahkan hingga ke cicilan kartu kredit yang masih belum terbayar. Semuanya akan ditimpakan ke istri dan anak Anda, apabila terjadi sesuatu pada Anda. Bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkan? Akankah mereka mampu melunasi hutang? Semua ini harus Anda pikirkan sejak sekarang, dan direncanakan dengan matang. Jangan sampai keluarga Anda harus tinggal di jalanan, atau anak Anda harus putus sekolah, hanya karena terjadi sesuatu pada Anda sebagai sumber pendapatan utama keluarga. Hal ini kita sebut dengan resiko finansial keluarga.

Bagaimana cara mengantisipasi resiko finansial? Bagi Anda yang masih tergolong sehat, cara paling efektif adalah dengan mengalihkannya ke asuransi. Belilah asuransi jiwa dengan UP yang mencukupi. Jadi apabila terjadi sesuatu pada Anda, maka pihak asuransi akan memberikan sejumlah uang (UP) kepada keluarga yang ditinggalkan. Uang inilah yang akan digunakan oleh keluarga untuk membayar hutang, dan membiayai keperluan hidup.

Berapakah nilai UP yang mencukupi? Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung nilai UP. Penjelasan berikut ini dimulai dari prioritas yang paling tinggi.

1. Jumlah seluruh hutang Anda.

Nilai minimal UP adalah jumlah seluruh hutang Anda. Hitunglah segala cicilan yang belum terbayar, seperti cicilan mobil, cicilan rumah, pinjaman teman, pinjaman koperasi, kartu kredit, dan segala macam hutang. Jumlahkan seluruhnya. Maka inilah nilai minimal UP Anda. Jadi andaikata terjadi sesuatu kepada Anda, maka keluarga Anda akan menerima uang dari asuransi yang dapat digunakan untuk melunasi seluruh hutang Anda. Dalam hal ini Anda tidak mewariskan hutang kepada keluarga yang ditinggalkan.

2. Biaya hidup keluarga selama 5 tahun.

Nilai berikut yang perlu diperhitungkan untuk UP adalah biaya hidup keluarga selama 5 tahun. Apabila perhitungan pertama sudah terpenuhi, maka Anda perlu memikirkan biaya hidup keluarga Anda. Terutama untuk keluarga yang hanya memiliki satu sumber penghasilan. Apabila terjadi sesuatu yang menimpa sumber penghasilan keluarga, maka keluarga yang ditinggalkan tidak memiliki penghasilan lagi. Dengan apakah keluarga membayar kebutuhan hidup? Jawabannya adalah dengan UP asuransi jiwa. UP asuransi jiwa harus dapat membayar kebutuhan hidup keluarga selama 5 tahun, dengan asumsi setelah itu keluarga yang ditinggalkan sudah mendapatkan sumber penghasilan baru untuk membiayai kebutuhan hidupnya.

3. Biaya pendidikan anak.

Untuk taraf hidup sekarang, kehidupan seorang anak sangat bergantung pada pembiayaan dari orang tuanya hingga anak lulus dari kuliah. Apabila terjadi sesuatu terhadap orang tua yang menjadi sumber penghasilan keluarga, maka anak tidak dapat membayar biaya kuliahnya. Akibatnya, terjadilah putus sekolah. Anak terpaksa langsung terjun ke dunia kerja, tanpa dibekali pendidikan yang cukup hanya untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.

Disinilah peranan ketiga dari UP yang patut diperhitungkan dalam rencana keuarga Anda. UP harus cukup untuk membiayai pendidikan anak, hingga anak lulus kuliah. Setelah itu anak dapat secara mandiri terjun ke dunia kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar