Rabu, 27 Januari 2010

Financial Intellegency

Uang bukan segalanya meskipun segalanya perlu uang, demikian sebagian orang berkomentar. Uang adalah salah satu instrumen material paling emosional dalam kehidupan. Sebagian besar orang rela mengorbankan hal-hal yang jauh lebih berharga dari uang untuk mendapatkan uang. Dalam masyarakat, uang adalah sumber potensial yang sering dihubungkan dengan kesusahan dan kesenangan. Uang seringkali digunakan mengukur kualitas hidup untuk memperjelas perbedaan antara yang kaya dan yang miskin.

Beberapa orang mencoba menghadapi uang seakan berpura-pura tidak perduli, tapi tekanan finansial seringkali menampakkan warna asli sepanjang hidupnya. Terutama orang dewasa, kekurangan uang sering diterjemahkan sebagai kekurangan segala-galanya. Untuk beberapa orang, uang merupakan misteri. Bagi yang lain, uang sumber nafsu, kebanggaan, rasa iri, bahkan kerendahan. Mana yang benar? Apakah itu wujud impian dan akar dari segala kejahatan? Sumber kebebasan, kekuasaan atau rasa aman?

Secara intelektual, kita semua tahu bahwa uang digunakan sebagai alat tukar. Tapi, banyak orang menyikapi uang lebih dari itu. Bahkan banyak yang membuat kesalahan dengan berpikir bahwa semua kesulitan dalam hidup akan hilang jika punya cukup uang.

Mengapa dalam suatu negara banyak orang gagal menjadi kaya, sementara peluang dalam sumber daya tersebar dimana-mana? Ketika saya mencari kunci membangun kekayaan yang dapat bertahan, ada satu hal yang menjadi sangat jelas yaitu “menciptakan kekayaan itu mudah”. Tapi, sebagian orang tak pernah membangunnya karena memiliki kelemahan paradigma tentang uang. Hal ini dapat ditemukan dalam bentuk nilai internal dan konflik keyakinan, serta rencana yang lemah dan tanpa sadar terus memperburuk paradigma finansial.

Saya percaya setiap orang memiliki kejeniusan finansial. Masalahnya, kejeniusan kebanyakan orang terbaring tidur dan menunggu untuk dibangunkan. Ia terbaring tidur karena komunitas kita telah mendidik untuk percaya bahwa cinta akan uang adalah akar segala kejahatan. Itu telah mendorong banyak orang secara kuat untuk mempelajari suatu profesi employee yang orientasi utamanya adalah bekerja untuk mencari uang sehingga tidak berhasil mengajarkan bagaimana mempunyai uang yang bekerja untuk kita atau mencari kita. Artinya kita diajarkan untuk tidak mengkhawatirkan masa depan finansial kita, perusahaan kita atau pemerintah yang mengurus kita bila masa kerja kita telah selesai. Anak-anak kitalah — karena dididik di dalam sistem komunitas atau sekolah yang sama — yang akan membayar semua itu. Doktrinnya adalah tetap bekerja keras, mencari uang dan bila telah memperolehnya digunakan untuk belanja, dan ketika kekurangan uang dapat selalu meminjam/hutang sebagai solusinya. “Nak, Belajarlah yang giat dan raihlah angka yang baik, dan kamu akan mendapatkan pekerjaan yang berupah tinggi dengan tunjangan dan keuntungan yang besar”, begitu kata orang tua kita.

Kecerdasan finansial bukahlah bicara tentang masalah seberapa besar pendapatan yang anda peroleh tetapi lebih pada seberapa banyak uang itu kita simpan, seberapa keras uang itu bekerja untuk kita, seberapa banyak generasi yang kita hidupi dengan uang itu dan seberapa besar manfaat uang tersebut buat kehidupan kita. Dengan memahami kecerdasan finansial maka kita bisa terhindar dari masalah yang disebut cronic financial renal failur atau gagal ginjal finansial kronis. Gagal ginjal finansial kronis adalah suatu penyakit yang berbahaya dimana bila mendapatkan seberapa besar pun uang yang diperolehnya, ia akan selalu merasa kekurangan. Hal ini disebabkan sering tidak diketahuinya perbedaaan antara aset dan liabilitas serta perbedaan antara penghasilan dan pengeluaran sesungguhnya, disamping juga cara mengelola keuangan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaiman cara mengukur kecerdasan finansial yang kita miliki? Untuk mengukur kecerdasan finansial kita, tidak bisa diukur dengan seberapa banyak uang yang dimiliki atau kekayaan bersihnya, tetapi ukurannya adalah waktu. Waktu untuk bebas memilih apakah bekerja atau tidak bekerja dan kebebasan untuk memilih dengan siapa kita bekerja, waktu untuk mengawasi anak-anak kita tumbuh dan belajar, bekerja dalam proyek-proyek yang kita minati (terlepas itu menghasilkan uang atau tidak) serta waktu untuk menyumbangkan uang yang kita miliki untuk kegiatan-kegiatan amal.

Mengapa mesti repot-repot mengembangkan kecerdasan finansial kita? Alasanya adalah agar kita punya lebih banyak pilihan dalam hidup ini. Selain itu, tak seorang pun dapat menjawabnya kecuali kita sendiri.

Apakah sekolah menyiapkan anak-anak kita untuk menghadapi dunia yang riil di era ini? Ada banyak cara untuk menilai kualitas pendidikan seseorang dan salah satu alat ukur yang terbaik adalah prestasi finansial mereka setelah lulus sekolah. Jadi, sebagai penutup, apa yang membuat Anda mau sibuk bekerja setiap hari? Apakah hanya untuk kesenangan belaka atau mencari uang? Apakah agar supaya Anda bisa tetap hidup? Atau, apakah Anda memiliki sebuah tujuan yang ingin dicapai?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar